Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH (HARI HIDUP BAKTI KE-28) 2 Februari 2024 : DUA KENDALA YANG MEMBUAT KITA KEHILANGAN KEMAMPUAN UNTUK MENANTI

Bacaan Ekaristi : Mal 3:1-4; Mzm 24:7.8.9.10; Luk 2:22-40.


Seraya orang-orang menantikan keselamatan Tuhan, para nabi mewartakan kedatangan-Nya, sebagaimana diwartakan oleh nabi Maleakhi, “Tiba-tiba Tuhan yang kamu cari itu akan datang ke bait-Nya! Utusan Perjanjian yang kamu inginkan itu, sesungguhnya, Ia datang" (3:1). Simeon dan Hana adalah gambaran dan sosok kerinduan ini. Ketika melihat Tuhan memasuki bait-Nya, keduanya diterangi oleh Roh Kudus dan mengenali anak yang digendong Maria tersebut. Mereka telah menantikan Dia sepanjang hidup mereka: Simeon, “seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel dan Roh Kudus ada di atasnya” (Luk 2:25); Hana, yang “tidak pernah meninggalkan Bait Allah” (Luk 2:37).

 

Ada baiknya kita menelaah kedua orang tua ini yang sabar menanti, tetap berjaga-jaga dan bertekun dalam doa. Hati mereka tetap berjaga, laksana nyala api abadi. Mereka sudah lanjut usia, namun berjiwa muda. Keduanya tidak membiarkan hari-hari melelahkan mereka, karena mata mereka tetap tertuju pada Allah dalam pengharapan (bdk. Mzm 145:15). Terpaku pada Allah dalam pengharapan, selalu dalam pengharapan. Sepanjang perjalanan hidup, mereka pernah mengalami kesukaran dan kekecewaan, namun mereka tidak menyerah kalah: mereka belum “memensiunkan” harapan. Ketika mereka merenungkan anak itu, mereka menyadari bahwa waktunya telah tiba, nubuat telah tergenapi, Ia yang mereka cari dan dambakan, Mesias segala bangsa, telah tiba. Dengan tetap berjaga dalam pengharapan akan Tuhan, mereka mampu menyambut kebaruan kedatangan-Nya.

 

Saudara-saudari, menantikan Allah juga penting bagi kita, bagi perjalanan iman kita. Setiap hari Tuhan mengunjungi kita, berbicara kepada kita, menyatakan diri-Nya dengan cara yang tidak terduga dan, pada akhir kehidupan dan waktu, Ia akan datang. Ia sendiri menasihati kita untuk tetap berjaga, waspada, dan bertekun dalam penantian. Memang, hal terburuk yang bisa terjadi pada kita adalah membiarkan “semangat kita tertidur”, membiarkan hati tertidur, membius jiwa, mengunci harapan di sudut gelap kekecewaan dan kepasrahan.

 

Saya memikirkanmu, saudara-saudari para pelaku hidup bakti, dan tentang karunia yang kamu miliki; saya memikirkan kita sebagai umat Kristiani dewasa ini: apakah kita masih mampu menanti? Bukankah kita kadang-kadang terlalu sibuk dengan diri kita sendiri, dengan berbagai hal, dan dengan irama kehidupan sehari-hari yang padat, sampai-sampai melupakan Allah yang selalu datang? Bukankah kita terlalu terpesona dengan perbuatan baik kita, yang bahkan berisiko mengubah kehidupan beragama dan kristiani menjadi “banyak hal yang harus dilakukan” dan mengabaikan untuk mencari Tuhan setiap hari? Bukankah kita terkadang mengambil risiko merencanakan kehidupan pribadi dan bermasyarakat dengan memperhitungkan peluang keberhasilan, alih-alih memupuk benih kecil yang dipercayakan kepada kita dengan suka cita dan kerendahan hati, dengan kesabaran orang yang menabur tanpa mengharapkan apa pun dan orang yang tahu bagaimana menanti waktu Allah dan memperkenankan-Nya mengejutkan kita? Kadang-kadang kita harus menyadari bahwa kita telah kehilangan kemampuan untuk menanti. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, dan saya ingin menyoroti dua di antaranya.

 

Kendala pertama yang membuat kita kehilangan kemampuan menanti adalah mengabaikan kehidupan batin. Inilah yang terjadi ketika keletihan mengalahkan keheranan, ketika kebiasaan menggantikan antusiasme, ketika kita kehilangan ketekunan dalam perjalanan rohani, ketika pengalaman-pengalaman buruk, perselisihank atau buah yang tampaknya tertunda mengubah kita menjadi orang-orang yang getir dan sakit hati. Terus memikirkan kepahitan tidak baik karena dalam keluarga rohani, seperti halnya dalam komunitas dan keluarga mana pun, orang-orang yang pahit dan “berwajah masam” sedang mengempis, orang-orang yang seolah-olah memiliki cuka di dalam hatinya. Maka kita perlu memulihkan rahmat yang hilang: kembali dan, melalui peningkatan kehidupan batin, kembali ke semangat kerendahan hati yang penuh sukacita, rasa syukur yang hening. Hal ini dipupuk oleh penyembahan, jerih payah lutut dan hati, doa yang berwujud pergumulan dan pengantaraan, yang mampu membangkitkan kembali kerinduan akan Allah, cinta awal, keheranan di hari pertama, rasa penantian.

 

Kendala kedua adalah beradaptasi dengan gaya hidup duniawi, yang pada akhirnya menggantikan Injil. Dunia kita sering kali berjalan dengan sangat cepat, yang mengagung-agungkan “segalanya dan saat ini”, yang tenggelam dalam aktivisme dan berusaha menghilangkan ketakutan dan kegelisahan hidup di kuil-kuil konsumerisme kafir atau hiburan dengan segala cara. Dalam konteks seperti ini, di mana keheningan disingkirkan dan hilang, menanti bukanlah hal yang mudah, karena memerlukan sikap pasif yang sehat, keberanian untuk memperlambat langkah, tidak kewalahan dengan aktivitas, memberikan ruang dalam diri kita untuk tindakan Allah. Ini adalah pelajaran mistisisme kristiani. Maka marilah kita berhati-hati agar roh dunia tidak masuk ke dalam komunitas rohani kita, kehidupan gerejawi dan perjalanan pribadi kita, jika tidak maka kita tidak akan menghasilkan buah. Kehidupan kristiani dan perutusan kerasulan memerlukan pengalaman penantian. Matang dalam doa dan kesetiaan sehari-hari, penantian membebaskan kita dari mitos efisiensi, dari obsesi terhadap kinerja dan, terutama, dari kepura-puraan yang menyingkirkan Allah, karena Ia selalu datang dengan cara yang tidak terduga, Ia selalu datang pada waktu yang tidak kita pilih dan dengan cara yang tidak kita duga.

 

Sebagaimana dinyatakan mistikus dan filsuf Prancis, Simone Weil, kita adalah mempelai perempuan yang menanti di malam hari kedatangan mempelai laki-laki, dan: “Peran calon istri adalah menanti…. Merindukan Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang lain, hanya itu saja yang bisa menyelamatkan kita” (Menanti Allah, Milan 1991, 196). Saudari-saudari, dalam doa marilah kita membina semangat menantikan Tuhan dan belajar tentang “kepasifan Roh” secara tepat: dengan demikian, kita akan mampu membuka diri terhadap kebaruan Allah.

 

Seperti Simeon, marilah kita juga menggendong anak ini, Allah kebaruan dan kejutan. Dengan menyambut Tuhan, masa lalu terbuka terhadap masa depan, hal lama dalam diri kita terbuka terhadap hal baru yang dibangkitkan-Nya. Ini tidak mudah, kita tahu ini, karena dalam kehidupan beragama seperti dalam kehidupan setiap umat kristiani, sulit untuk melawan “kekuatan lama”. “Tidaklah mudah bagi manusia lama kita untuk menyambut sang anak, yang baru – menyambut yang baru, di masa tua kita menyambut yang baru – … Kebaruan Allah menampilkan dirinya sebagai seorang anak dan kita, dengan semua kebiasaan, ketakutan, perasaan was-was, iri hati kita, – marilah kita memikirkan iri hati! – khawatir, bertatap muka dengan anak ini. Akankah kita merangkul anak tersebut, menyambut anak tersebut, memberikan ruang bagi anak tersebut? Akankah kebaruan ini benar-benar masuk ke dalam kehidupan kita atau justru kita akan mencoba menggabungkan yang lama dan yang baru, berusaha membiarkan diri kita diganggu sesedikit mungkin oleh kehadiran kebaruan Allah?” (C.M. Martini, Sesuatu yang Sangat Pribadi. Meditasi Tentang Doa, Milan 2009, 32-33).

 

Saudara-saudari, pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk kita, untuk kita masing-masing, untuk komunitas kita, dan untuk Gereja. Biarlah kita gelisah, marilah kita digerakkan oleh Roh, seperti Simeon dan Hana. Jika, seperti mereka, kita hidup dalam pengharapan, menjaga kehidupan batin kita dan selaras dengan Injil, jika, seperti mereka, kita hidup dalam pengharapan, kita akan memeluk Yesus, yang merupakan terang dan pengharapan kehidupan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 Februari 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.